Tak kusimpan rahasia pada Hawa, meski tak juga kuceritakan semua, bahwa padanya hanya ada sedikit cinta, Apa artinya rumah jika tak lagi menjadi pelabuhan yang ramah bagi hati seorang suami? Apa jadinya surga jika ia tak lagi dirindukan? Benarkah dongeng seorang perempuan harus mati agar dongeng perempuan lain mendapatkan kehidupan? Ah. Istana yang retak-retak. Peristiwa tragis dan e-mail aneh dari gadis bernama Bulan. Pertanyaan
yang terus mendera : “Jika cinta bisa membuat seorang perempuan setia
pada satu lelaki, kenapa cinta tidak cukup membuat lelaki bertahan
dengan satu
perempuan?” Sementara seseorang berjuang melawan Tuhan, waktu dengan sabar menyusun keping-keping puzzle kehidupan yang terserak, lewat skenario yang rumit namun menakjubkan. Para penulis perempuan seperti gumpalan burung yang jatuh dari udara, menyerbu kehidupan sastra Indonesia, memasuki milenium ketiga. Masing-masing dengan dunianya. Ada yang cerdas, radikal, bebas, bahkan lebih gila dari lelaki. Tetapi ada yang gaul, melankolis, puitis, komunikatif, santun, namun sesungguhnya memberontak. Arini berhenti berlari. Tak lagi berusaha menghindar dari luka, papar Nadia mengakhiri kisahnya. Sebuah suara lirih yang menggelegar karena menunjukkan tekad yang menjadi wajah lain dari langkah perempuan Indonesia masa kini. (Putu Wijaya, seniman) "Dengan kepiawaiannya mengeksplorasi dunia kata, Asma Nadia memotret poligami dari semua sisi: sisi suami, sisi "korban"---—dalam hal ini istri pertama—---dan sisi perempuan pemilik Istana Kedua. Kisah yang sangat menyentuh dan membuat saya jadi ingin "mewajibkan" semua laki-laki membaca novel ini." (Dewie Sekar; penulis Zona @ Tsunami, Perang Bintang, dan Zona @ Last)
perempuan?” Sementara seseorang berjuang melawan Tuhan, waktu dengan sabar menyusun keping-keping puzzle kehidupan yang terserak, lewat skenario yang rumit namun menakjubkan. Para penulis perempuan seperti gumpalan burung yang jatuh dari udara, menyerbu kehidupan sastra Indonesia, memasuki milenium ketiga. Masing-masing dengan dunianya. Ada yang cerdas, radikal, bebas, bahkan lebih gila dari lelaki. Tetapi ada yang gaul, melankolis, puitis, komunikatif, santun, namun sesungguhnya memberontak. Arini berhenti berlari. Tak lagi berusaha menghindar dari luka, papar Nadia mengakhiri kisahnya. Sebuah suara lirih yang menggelegar karena menunjukkan tekad yang menjadi wajah lain dari langkah perempuan Indonesia masa kini. (Putu Wijaya, seniman) "Dengan kepiawaiannya mengeksplorasi dunia kata, Asma Nadia memotret poligami dari semua sisi: sisi suami, sisi "korban"---—dalam hal ini istri pertama—---dan sisi perempuan pemilik Istana Kedua. Kisah yang sangat menyentuh dan membuat saya jadi ingin "mewajibkan" semua laki-laki membaca novel ini." (Dewie Sekar; penulis Zona @ Tsunami, Perang Bintang, dan Zona @ Last)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar