Perempuan pada umumnya gemar untuk ‘nyalon’,
menghabiskan beberapa jam untuk merawat wajah dan rambut. Namun, sstt, ada yang
tak kalah penting untuk dipercantik selain penampilan ragawi. Salon kepribadian
merupakan sebuah jawaban atas bagaimana seorang perempuan, khususnya muslimah,
bersikap agar kecantikan terpancar dari dalam. Lisan dan tingkah laku sebagai
cerminan dari kepribadian merupakan bagian dari akhlak. Lalu ada apa dengan Muslimah? Muslimah bukan hanya sekadar perempuan
biasa, ia
membawa label ‘Islam’ dalam tindak tanduknya. Asma Nadia menuliskan alasanya,
“Sebab, muslimah dengan kerudung dan aktivitas keislamannya, punya sosok manis
dan izzah (kewibawaan) yang harus dilindungi. Sebab, orang menilai
Islam dari pengikutnya,” (hal.2). “Berjilbab menunjukkan sebagai
muslimah dia sudah membuat satu komitmen taat yang lebih dibanding
muslimah lain. Tentu saja komitmen harus terus diperbarui, serta ditambah
dengan komitmen taat lain yang masih sederet,” (hal. 5). Muslimah tentu bukanlah sosok
sempurna tanpa cela. Ia manusia biasa yang punya salah, punya khilaf dan pasti
punya dosa. Sosoknya yang istimewa membuat banyak pihak yang memperhatikannya.
Tak percaya? “Muslimah kok suka nge-ghibah?” “Muslimah kok genit?” “Pakai jilbab kok berdua-duaan di
kamar?” Dst Loh emang kalau tak pakai jilbab boleh juga gitu?
Hehe. Artinya orang melihat dan
menjustifikasi, secara umum, bahwa Muslimah seyogyanya ‘tak pantas’ melakukan
berbagai ‘kok’ yang dilontarkan. Ada Apa di Salon Kepribadian? Dakwah pop Asma Nadia –jika saya boleh menyebutnya
demikian- mewarnai buku setebal 312 halaman ini. Dengan gayanya yang renyah dan
tidak menggurui (kerap sang penulis menggunakan kata “Saya rasa,” “Sepemahaman
saya,” dsb), perempuan ramah ini mengulik problematika yang kerap dijumpai oleh
Muslimah dan menjadi keluhan orang-orang di sekitar. Keluhan yang mungkin tak
pernah disadari oleh Muslimah lantaran sungkan diungkapkan orang-orang di
sekitarnya secara langsung. Penulis cukup jeli memetakan kepribadian apa saja dan
bagaimana hal-hal tersebut hendak ditata. Mulai dari penampilan (bahkan hingga
benang yang ‘nyeliwer’ di baju pun dibahas), cara berbicara, bertingkah laku
maupun momen ibadah yang mungkin tanpa disadari meresahkan pihak lain. Buku dengan
ilustrasi menarik di luar dan di dalam ini tak hanya sekadar mengupas pemikiran
sang penulis tetapi juga menampung keluhan dari para asmanadians –sebutan untuk
pembaca Asma Nadia- yang diungkapkan kepada penulis. Satu catatan dari buku
ini, bagi saya pribadi, adalah ‘font’ yang digunakan kurang membuat mata
saya nyaman, hehe. ‘Font’ yang paling nyaman menurut saya yang digunakan
dalam buku ‘Twitografi Asma Nadia’. Banyak hal menarik bagi para Muslimah di dalam buku ini yang
sayang untuk dilewatkan. Muhasabah diri secara terus menerus tentu merupakan
sebuah keharusan, bukan? :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar