Setelah sukses di buku
pertama, Negeri Lima Menara, A. Fuadi menelurkan sekuel keduanya: Ranah
Tiga Warna. Melanjutkan dari buku pertamanya, buku ini mengisahkan
kehidupan Alif setelah lulus dari pondok. Awal ceritanya sendiri
dimulai bersama sahabat sebayanya sejak dari Tanah Minang yang
berkuliah di Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB), Randai.
Padahal Alif meragukan Randai mampu menembus
bangku PTN karena hanya
jebolan pesantren. Alif sendiri diterima
kuliah di Hubungan Internasional (HI) Universitas Padjadjaran (UNPAD)
Bandung. Dengan bangganya, dia menunjukan prestasinya ini ke ayah dan
amaknya. Padahal, untuk bisa menembus PTN, dirinya harus mengikuti ujian
persamaan SMA yang tidak mudah. Ayah Alif sendiri
ketika itu sedang sakit. Padahal ingin sekali ayahnya melepas kepergian
dan melihat Alif di PTN terkemuka di Bandung tersebut. Namun, apa daya,
hal tersebut tidak bisa terlaksana lantaran keadaan yang memaksakannya
demikian. Di Bandung, Alif yang
tanpa bekal dan uang memadai, menumpang di kostan Randai. Hari-hari
selanjutnya pun ia jalani dengan penuh keprihatinan. Untuk sarapan saja,
Alif hanya membeli setengah porsi bubur ayam. Bubur ini diberi air
hingga terlihat seperti 1 porsi besar. Bagaimana pun, Alif malu jika
teman-temannya tahu bahwa ia tidak punya uang. Hidupnya yang prihatin
kian bertambah sulit ketika amaknya menyuruh Alif segera pulang karena
ayahnya sakit keras. Kegelisahan pun membayangi Alif sepanjang
perjalanan. Benar saja, sang ayah telah berada di rumah sakit. Meskipun
sempat sembuh dan dibawa pulang ke rumah, tetapi takdir berkata lain,
ayahnya meninggal dunia. Meskipun tidak percaya, akhirnya Alif harus
merelakan kepergian sang ayah. Sejak saat itu, ia selalu teringat pesan kiyainya tentang kalimat sakti yang harus selalu dipegangnya. Man jadda wajada tidak cukup untuk mengarungi lautan hidup, perlu ada kalimat sakti lain, yaitu man shabara zhafira, siapa yang bersabar maka ia akan beruntung. Untuk meneruskan hidup
yang tidak bisa lagi bergantung pada uang dari amaknya, Alif pun
memutuskan untuk bekerja. Apa saja, asal uangnya halal. Termasuk menjual
kain tenun khas Minang dari ibu Randai. Belum cukup sampai di
situ, Alif pun menerima tawaran temannya untuk menjual alat-alat
kebutuhan rumah tangga. Meski akhirnya harus menahan malu ketika diusir
ibu-ibu, Alif tetap melakoninya. Namun, nasib naas
kembali menimpa Alif. Dia dirampok habis-habisan, hingga akhirnya
pingsan dan terbangun di kamar Randai. Alif mulai merasa tertekan dan
merasa sangat lelah dengan kehidupannya. Tetapi, lagi-lagi ia ingat
pesan kiyainya, Man Shabara Zhafira. Suatu saat, kampus
Alif pindah dari bilangan Dipatiukur Bandung ke Jatinangor Sumedang.
Bagaimana pun, kampusnya sudah tidak bisa ditempuh lagi hanya dengan
naik angkot. Alif kembali ingat pesan kiyainya untuk meningkatkan
usahanya, lebih banyak daripada usaha orang lain. Hingga suatu hari, di
tengah perjalanan menuju kampusnya, Alif melihat seorang gadis
tertawa-tawa sendiri melihat beberapa foto. Dia pun memberanikan diri
bertanya perihal foto sang gadis. Peristiwa inilah yang akhirnya
menghadirkan pencerahan perihal beasiswa ke Kanada. Bertekad untuk
mendapatkan beasiswa pertukaran mahasiswa antara negara, Alif pun
belajar dengan giat. Hingga akhirnya ia berhasil mengantongi kunci
menuju negara berbendera Daun Mapple tersebut.
Datar dan Terlalu Mudah
Buku ini sarat dengan
motivasi dan semangat untuk terus maju. Namun, buku ini sulit sekali
menerbitkan rasa kepenasaranan saya untuk terus membacanya usai jeda.
Seperti tidak ada ‘greget’ untuk terus melanjutkannya. Alurnya
pun saya rasa datar-datar saja. Hal ini tidak seperti beberapa buku
lainnya yang begitu mudah menggoda saya untuk ingin terus melahap habis
bacaannya. Penulis juga hanya
menggunakan beberapa halaman untuk menulis satu bab. Seperti tidak ada
klimaks dan anti-klimaks. Hal inilah yang mungkin membuat saya tidak
begitu antusias membacanya. Meskipun begitu, ada 2
bab yang membuat otak saya yang visual-auditori ini, bekerja lebih
padat. Kedua bab tersebut ketika ayah Alif meninggal dunia dan ketika
Alif menyelenggarakan upacara bendera di tanah Quebecc. Saya begitu merinding
membayangkan upacara bendera hari Pahlawan 10 Nopember di tengah musim
salju yang dingin. Saya begitu terpesona dengan niat bulat Alif dan
kawan-kawannya guna menyelenggarakan Pertunjukan Budaya dan Festival
Makanan Indonesia dengan penuh kebanggaan nasionalisme. Belum lagi dengan
bait-bait lagu Indonesia Raya yang membuat saya berusaha menyanyikannya
dalam hati. Bulu roma saya benar-benar berdiri membayangkan upacara
penuh kerinduan akan tanah air tersebut. Ketika membaca buku
ini, saya juga tidak ingin menebak-nebak akhir ceritanya. Keinginan kuat
untuk membaca habis buku ini agar saya bisa menuntaskan beberapa
pertanyaan di benak saya, khususnya tentang bagaimana mengkritisi buku
ini.
Ada satu bab yang
menggugah ketertarikan saya, yaitu ketika para beswan berdiskusi di
sebuah kafe di Kanada. Saya sempat membayangkan tentang enaknya memiliki
teman-teman yang pintar, cekatan, dan bersemangat. Lihat saja, ketika
memiliki ide membuat upacara bendera pun, semuanya menyanggupi tanpa
keluhan. Bahkan, ide-ide brilian pun bermunculan setelah berdiskusi. Semua ingin
berkontribusi dan unjuk gigi tanpa saling sikut untuk tenar. Mereka juga
saling membantu ketika ada yang tidak bisa menari atau menyanyi
kesenian daerah Indonesia yang akan mereka persembahkan. Salah satu poin utama
dalam novel ini adalah Alif yang begitu prestatif. Mulai dari lulus
ujian persamaan, masuk PTN, tulisannya dipublikasikan di koran, hingga
mendapatkan beasiswa. Saya merasa semua itu terlalu mudah. Terlepas dari
novel ini adalah cerita nyata atau bukan, saya iri karena tidak
seberuntung Alif. Namun, jika beberapa
alurnya fiksi, khususnya terkaif prestasi Alif, saya menilai penulis
terlalu mematok mudah segala urusan. Walaupun penulis menceritakan usaha
dan perjuangan Alif, tapi saya meyakini bahwa kesuksesan tidak bisa
diraih dengan mudah. Sekelas Thomas Alfa Edison pun harus mengalami
kegagalan hingga 10 ribu kali untuk menemukan bohlam. Di sisi lain, novel ini sangat menunjukkan makna man shabara zhafira. Alif digambarkan begitu bersabar dari segala musibah, hingga akhirnya bisa mereguk manisnya kesabaran. Untuk novel Negeri
Lima Menara, A.Fuadi mendapatkan banyak penghargaan, di antaranya
Nominasi Khatulistiwa Lhiterary Award 2010, Liputan 6 Award Kategori
Pendidikan dan Motivasi, Anugrah Pembaca Indonesia 2010, dan Buku fiksi
terbaik Perpustakaan Nasional Indonesia. Sedangkan Ranah Tiga Warna ini,
tampaknya belum mendapatkan penghargaan apapun. Ketika saya mencari
referensi tentang hal ini, belum ada media yang menyebutkan penghargaan
untuk novel ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar