Senin, 27 Oktober 2014

BUKU - Man Shabara Zhafira

Setelah sukses di buku pertama, Negeri Lima Menara, A. Fuadi menelurkan sekuel keduanya: Ranah Tiga Warna. Melanjutkan dari buku pertamanya, buku ini mengisahkan kehidupan Alif setelah lulus dari pondok. Awal ceritanya sendiri dimulai bersama sahabat sebayanya sejak dari Tanah Minang yang berkuliah di Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB), Randai. Padahal Alif meragukan Randai mampu menembus
bangku PTN karena hanya jebolan pesantren. Alif sendiri diterima kuliah di Hubungan Internasional (HI) Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung. Dengan bangganya, dia menunjukan prestasinya ini ke ayah dan amaknya. Padahal, untuk bisa menembus PTN, dirinya harus mengikuti ujian persamaan SMA yang tidak mudah. Ayah Alif sendiri ketika itu sedang sakit. Padahal ingin sekali ayahnya melepas kepergian dan melihat Alif di PTN terkemuka di Bandung tersebut. Namun, apa daya, hal tersebut tidak bisa terlaksana lantaran keadaan yang memaksakannya demikian. Di Bandung, Alif yang tanpa bekal dan uang memadai, menumpang di kostan Randai. Hari-hari selanjutnya pun ia jalani dengan penuh keprihatinan. Untuk sarapan saja, Alif hanya membeli setengah porsi bubur ayam. Bubur ini diberi air hingga terlihat seperti 1 porsi besar. Bagaimana pun, Alif malu jika teman-temannya tahu bahwa ia tidak punya uang. Hidupnya yang prihatin kian bertambah sulit ketika amaknya menyuruh Alif segera pulang karena ayahnya sakit keras. Kegelisahan pun membayangi Alif sepanjang perjalanan. Benar saja, sang ayah telah berada di rumah sakit. Meskipun sempat sembuh dan dibawa pulang ke rumah, tetapi takdir berkata lain, ayahnya meninggal dunia. Meskipun tidak percaya, akhirnya Alif harus merelakan kepergian sang ayah. Sejak saat itu, ia selalu teringat pesan kiyainya tentang kalimat sakti yang harus selalu dipegangnya. Man jadda wajada tidak cukup untuk mengarungi lautan hidup, perlu ada kalimat sakti lain, yaitu man shabara zhafira, siapa yang bersabar maka ia akan beruntung. Untuk meneruskan hidup yang tidak bisa lagi bergantung pada uang dari amaknya, Alif pun memutuskan untuk bekerja. Apa saja, asal uangnya halal. Termasuk menjual kain tenun khas Minang dari ibu Randai. Belum cukup sampai di situ, Alif pun menerima tawaran temannya untuk menjual alat-alat kebutuhan rumah tangga. Meski akhirnya harus menahan malu ketika diusir ibu-ibu, Alif tetap melakoninya. Namun, nasib naas kembali menimpa Alif. Dia dirampok habis-habisan, hingga akhirnya pingsan dan terbangun di kamar Randai. Alif mulai merasa tertekan dan merasa sangat lelah dengan kehidupannya. Tetapi, lagi-lagi ia ingat pesan kiyainya, Man Shabara Zhafira. Suatu saat, kampus Alif pindah dari bilangan Dipatiukur Bandung ke Jatinangor Sumedang. Bagaimana pun, kampusnya sudah tidak bisa ditempuh lagi hanya dengan naik angkot. Alif kembali ingat pesan kiyainya untuk meningkatkan usahanya, lebih banyak daripada usaha orang lain. Hingga suatu hari, di tengah perjalanan menuju kampusnya, Alif melihat seorang gadis tertawa-tawa sendiri melihat beberapa foto. Dia pun memberanikan diri bertanya perihal foto sang gadis. Peristiwa inilah yang akhirnya menghadirkan pencerahan perihal beasiswa ke Kanada. Bertekad untuk mendapatkan beasiswa pertukaran mahasiswa antara negara, Alif pun belajar dengan giat. Hingga akhirnya ia berhasil mengantongi kunci menuju negara berbendera Daun Mapple tersebut.


Datar dan Terlalu Mudah
Buku ini sarat dengan motivasi dan semangat untuk terus maju. Namun, buku ini sulit sekali menerbitkan rasa kepenasaranan saya untuk terus membacanya usai jeda. Seperti tidak ada ‘greget’ untuk terus melanjutkannya. Alurnya pun saya rasa datar-datar saja. Hal ini tidak seperti beberapa buku lainnya yang begitu mudah menggoda saya untuk ingin terus melahap habis bacaannya. Penulis juga hanya menggunakan beberapa halaman untuk menulis satu bab. Seperti tidak ada klimaks dan anti-klimaks. Hal inilah yang mungkin membuat saya tidak begitu antusias membacanya. Meskipun begitu, ada 2 bab yang membuat otak saya yang visual-auditori ini, bekerja lebih padat. Kedua bab tersebut ketika ayah Alif meninggal dunia dan ketika Alif menyelenggarakan upacara bendera di tanah Quebecc. Saya begitu merinding membayangkan upacara bendera hari Pahlawan 10 Nopember di tengah musim salju yang dingin. Saya begitu terpesona dengan niat bulat Alif dan kawan-kawannya guna menyelenggarakan Pertunjukan Budaya dan Festival Makanan Indonesia dengan penuh kebanggaan nasionalisme. Belum lagi dengan bait-bait lagu Indonesia Raya yang membuat saya berusaha menyanyikannya dalam hati. Bulu roma saya benar-benar berdiri membayangkan upacara penuh kerinduan akan tanah air tersebut. Ketika membaca buku ini, saya juga tidak ingin menebak-nebak akhir ceritanya. Keinginan kuat untuk membaca habis buku ini agar saya bisa menuntaskan beberapa pertanyaan di benak saya, khususnya tentang bagaimana mengkritisi buku ini.
Ada satu bab yang menggugah ketertarikan saya, yaitu ketika para beswan berdiskusi di sebuah kafe di Kanada. Saya sempat membayangkan tentang enaknya memiliki teman-teman yang pintar, cekatan, dan bersemangat. Lihat saja, ketika memiliki ide membuat upacara bendera pun, semuanya menyanggupi tanpa keluhan. Bahkan, ide-ide brilian pun bermunculan setelah berdiskusi. Semua ingin berkontribusi dan unjuk gigi tanpa saling sikut untuk tenar. Mereka juga saling membantu ketika ada yang tidak bisa menari atau menyanyi kesenian daerah Indonesia yang akan mereka persembahkan. Salah satu poin utama dalam novel ini adalah Alif yang begitu prestatif. Mulai dari lulus ujian persamaan, masuk PTN, tulisannya dipublikasikan di koran, hingga mendapatkan beasiswa. Saya merasa semua itu terlalu mudah. Terlepas dari novel ini adalah cerita nyata atau bukan, saya iri karena tidak seberuntung Alif. Namun, jika beberapa alurnya fiksi, khususnya terkaif prestasi Alif, saya menilai penulis terlalu mematok mudah segala urusan. Walaupun penulis menceritakan usaha dan perjuangan Alif, tapi saya meyakini bahwa kesuksesan tidak bisa diraih dengan mudah. Sekelas Thomas Alfa Edison pun harus mengalami kegagalan hingga 10 ribu kali untuk menemukan bohlam. Di sisi lain, novel ini sangat menunjukkan makna man shabara zhafira. Alif digambarkan begitu bersabar dari segala musibah, hingga akhirnya bisa mereguk manisnya kesabaran. Untuk novel Negeri Lima Menara, A.Fuadi mendapatkan banyak penghargaan, di antaranya Nominasi Khatulistiwa Lhiterary Award 2010, Liputan 6 Award Kategori Pendidikan dan Motivasi, Anugrah Pembaca Indonesia 2010, dan Buku fiksi terbaik Perpustakaan Nasional Indonesia. Sedangkan Ranah Tiga Warna ini, tampaknya belum mendapatkan penghargaan apapun. Ketika saya mencari referensi tentang hal ini, belum ada media yang menyebutkan penghargaan untuk novel ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar