Novel satu ini merupakan rangkaian
kedua seri Triologi Negeri 5 Menara. Jadi praktis tokoh utama pada kisah
ini masih sama dengan di buku pertamanya yakni, Negeri 5 Menara.
Hanya saja, kisah yang ada di dalam bagian kedua ini lebih fokus pada
kehidupan dan konflik yang dialami si Alif. Dikisahkan, ia baru saja
tamat bersekolah dari Pondok Madani. Selepas dari pesantren, Alif
dilingkupi banyak cita-cita, salah satunya adalah melanjutkan pendidikan
di bidang teknologi, suskses seperti Pak Habibie dan kemudian hijrah ke
Amerika Serikat. Namun keinginan Alif tersebut tiba-tiba dijegal fakta
bahwa ia tak memiliki ijazah. Memang pada saat itu, pondok pesantren
belum berwewenang untuk menerbitkan ijazah layaknya sekolah yang disubsidi pemerintah. Tapi hal tersebut tidak menggoyahkan cita-cita Alif. Ia kemudian berhasil memperoleh ijazah dengan mengikuti ujian penyetaraan.
belum berwewenang untuk menerbitkan ijazah layaknya sekolah yang disubsidi pemerintah. Tapi hal tersebut tidak menggoyahkan cita-cita Alif. Ia kemudian berhasil memperoleh ijazah dengan mengikuti ujian penyetaraan.
Selanjutnya, Alif kemudian ikut ujian UMPTN dan berhasil kuliah di
Bandung. Tepatnya di jurusan Hubungan Internasional. Meski tidak
berhasil masuk ke ITB, tapi bagi Alif tak mengapa. Ia tetap menjalani
kuliahnya dengan sungguh-sungguh. Meski ia sering mengalami masalah
seperti keuangan dan semacamnya. Awalnya Alif hampir menyerah, hanya
saja ia kembali teringat mantra “man shabara zhafira” yang artinya,
siapa yang bersabar akan beruntung. Ia memilih unutk berjuang dan
bersabar.
Pada akhirnya, Alif berhasil memperbaiki kondisi keuangannya dengan cara
menulis. Bahkan dengan hasil menulis itu, ia bisa mengirimkan sedikit
uang bagi keluarganya di kampung. Seiring berjalannya waktu, Alif tiba
pada keberuntungannya yang pertama dimana ia terpilih sebagai mahasiswa
utusan dalam program pertukaran belajar ke Benua Amerika. Alif memilih
Negara Kanada. Di sana ia tinggal bersama keluarga angkat. Mereka
sangat dekat. Saat tiba waktu Alif untuk kembali ke Indonesia, keluarga
angkatnya di Kanada sangat sedih. Namun Alif meninggalkan janji untuk
mereka, kelak ia akan kembali ke Kanada. Janji tersebut ditepatinya 11
tahun kemudian. Ia kembali berkunjung ke Kanada bersama isterinya.
Novel Ranah 3 Warna ini sangat cocok dibaca mereka yang takut
bercita-cita. Dan kalaupun ada cita-cita, kita selalu mencemaskannya.
Kisah Alif yang dikemas apik dalam novel ini memberikan kita paradigm
kuat bahwa cita-cita harus selalu dikejar bagaimanapun caranya. Dan yang
paling penting adalah mengawinkan usaha dengan kesabaran. Sebab, boleh
jadi hasil kerja keras kita tidak nampak di awal tetapi di akhir. Jika
di tengah jalan kita memtuskan menyerah, maka rugi besarlah kita.
Dari segi bahasa, penulisan novel ini cukup baik. Penulisnya cerkas dan
tidak suka menghambur-hamburkan kata. Meski demikian, alur cerita tetap
berjalan apa adanya tanpa terkesan buru-buru atau sebaliknya, terlalu
lambat. Novel motovasi ini sangat cocok Anda hadiahkan bagi anak-anak
agar semangatnya mengejar cita-cita bisa lebih kuat lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar