Sebuah Novel yang Terinspirasi Kisah Nyata
Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak
pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah
berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah
berlumpur dan mandi di air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus
naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa
menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya
Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia
mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok.
Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima
dengan "mantera" sakti man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh
pasti sukses. Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola
berbahasa Arab, anak mengigau dalam bahasa Inggris, dan terkesan melihat
pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan
Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari
Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang,
mereka menunggu Maghrib sambil menatap awan lembayung berarak pulang ke
ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian
masing-masing. Kemana impian membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang
mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa
pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Bagaimana perjalanan mereka ke ujung dunia ini dimulai? Siapa horor
nomor satu mereka? Apa pengalaman mendebarkan di tengah malam buta di
sebelah sungai tempat jin buang anak? Bagaimana sampai ada yang
kasak-kusuk menjadi mata-mata misterius? Siapa Princess of Madani yang
mereka kejar-kejar? Kenapa mereka harus botak berkilat-kilat? Bagaimana
sampai Icuk Sugiarto, Arnold Schwarzenegger, Ibnu Rusyd, bahkan Maradona
sampai akhirnya ikut campur? Ikuti perjalanan hidup yang inspiratif ini
langsung dari mata para pelakunya. Negeri Lima Menara adalah buku
pertama dari sebuah trilogi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar